Garis batas, dibuat sedemikian
rupa, dalam berbagai bentuk oleh manusia.
Entah itu dalam batasan agama, ras, suku, dan negara yang berbeda. Dalam diri
manusia sendiri “garis batas” itu tidak dapat dipisahkan. Laksana tembok yang
membentengi diri, sehingga membatasi diri sendiri dengan orang lain. Ini memang
merupakan benteng pertahanan alami yang dibuat manusia untuk melindungi diri.
Namun, ketika garis batas itu mulai bertambah tebal, segala toleransi dan rasa manusiawi perlahan akan memudar. Ketika ditanya “mana identitasmu?” kita tidak dapat hanya dengan menunjukkan diri kita, dan berkata “inilah aku,inilah diriku, inilah identitasku”. Identitas berganti menjadi sebuah sebentuk kartu, atau sebuah buku kecil kurang dari 50 halaman bernama Paspor.
Tapi, meski miskin, orang-orang Tajikistan adalah
orang-orang yang berwawasan luas. Tak ada seorangpun yang buta huruf. Bahkan
seorang yang tinggal di daerah terpencil pun bisa membaca dan menulis. Sama
sekali berbeda dengan orang-orang di Afghanistan. Banyak daerah-daerah di
Afghanistan yang justru belum tersentuh meodernisasi, seakan dua negeri yang
hanya dipisahkan oleh sebuah aliran sungai itu berada dalam periode zaman yang
berbeda.
Ketika bercerita tentang negeria utopis di Turkmenistan,
saya hampir tak percaya ada negara dengan biaya hidup sedemikian rendah.
Bayangkan saja, kita cukup membayar Rp20,00 (dua puluh rupiah) saja untuk dapat
menikmati jasa bus kota! Ya, benar. Dua puluh rupiah! Setidaknya begitulah yang
diceritakan Agus, ketika ia naik bus menuju pusat kota Ashgabat. Apalagi
listrik, air, dan gas. Semuanya gratis bagi para warga Turkmenistan. “Kami
memang tidak punya uang, tapi kami tidak membutuhkan banyak uang untuk hidup”.
Begitulah seloroh Rita, seorang wanita keturunan Rusia yang menjadi warga
Turkmenistan.
Uni Soviet memang amat sangat berperan dalam pembentukkan
negara-negara di Asia Tengah. Sebelum Soviet datang dan menjajah Asia Tengah,
kehidupan masyarakat disana, didiami oleh berbagai suku bangsa yang berbeda.
Mereka hidup tanpa ada garis batas, saling berbaur dan berinteraksi. Namun,
ketika orang-orang Rusia datang, dan ahli etnografi didatangkan untuk mencari
kelemahan di Asia Tengah, Stalin sang dikatator pun mulai mengiris-iris dan
memisahkan suku-suku tersebut. Mengungkung mereka dalam wilayah yang
berbeda-beda. Orang Tajik ditempatkan di wilayah yang berbeda dengan orang
Uzbek. Begitu pula bangsa Kirgiz, bangsa pengembala yang hidupnya berpindah,
dipaksa untuk menempati wilayah yang ribuan tahun telah ditempati oleh
orang-orang Uzbek. Karena alasan ini-lah kemudian banyak pertikaian yang
terjadi antar suku.
Ketika suku-suku Tajik, Uzbek, Kirgiz, berdiam dalam satu
negara boneka yang dibuat oleh orang-orang Rusia. Seakan mereka kehilangan jati
diri, dan terombang-ambing dalam dua kultur yang berbeda. Sebut saja Osh, salah
satu kota tertua di Kirgiztan. Dahulu kala, tiga ribu tahun yang lalu, sebelum
orang-oarang Rusia datang menjajah, Osh lebih dulu didiami oleh bangsa Uzbek.
Bangsa Kirgiz merupakan bangsa gembala yang hidupnya selalu berpindah dari satu
ladang, ke ladang lainnya. Suatu ketika, pada saat lima ratus tahun yang lalu,
orang Uzbek yang berdiam di Osh, rela berduyung-duyung keluar rumah, hanya demi
melihat bagaimana wajah para orang gunung itu?
Namun, Osh saat ini adalah merupakan kota tua yang melebur
bersama negarbernama Kirgiztan. Karena pengotak-kotakan itu-lah sering terjadi
perselisihan antar etnik. Orang Uzbek mengklaim bahwa nenek moyang mereka-lah
yang mendiami Osh terlebih dulu, namun orang Kirgiz mengatakan bahwa Osh adalah
bagian dari negara yang bernama Kirgiztan. Bukan Uzbekistan.
Kisah diatas mirip seperti kisah Indonesia, sebelum
penjajahan Belanda berlangsung. Dulu, sebelum ada Indonesia, negara ini disebut
sebagai Nusantara. Hidup berbagai suku dan etnis, yang mendiami berbagai
wilayah, dengan bahasa yang berbeda pula. Kemudian muncul berbagai
kerajaan Hindu-Buddha, setelah itu kerajan-kerajaan Islam mulai bermunculan,
sampai kemudian bangsa Portugis datang, disusul oleh bangsa Belanda yang
menduduki wilayah Nusantara selama lebih dari tiga abad. Kemudian Belanda
“menyatukan” dan “mendamaikan” sebagian wilayah Nusantara, lalu terbentuklah
sebuah koloni Hinda-Belanda.
Semoga saja, apa yang terjadi di Uni Soviet, tidak terjadi
di negeri kita tercinta ini…